Senin, 13 Mei 2013

KEANEKARAGAMAN HAYATI DALAM MENUNJANG KETAHANAN PANGAN



KEANEKARAGAMAN HAYATI DALAM MENUNJANG
KETAHANAN PANGAN

Kharis Triyono
Fak. Pertanian Univ. Slamet Riyadi Surakarta


Abstracts

Indonesia become the one of biodiversity center in the world and it is known as the megabiodiversity country. It is as natur wealth which can be useful at recent or in the fiture
The problems of providing food will become the one of main challenge of development, because of population always increase. Actually biodiversity in Indonesia as “Emas hijau” which can be used as alternative to cope the problems of providing food. Althought biodiversity the latest in fact is :1) it is abundant yet we are poor of knowledge 2) it is potensial but it is not discovered and useless 3) it has future chances, yet we abandoned it.

Key words : Biodiversity, problems of providing food, food security


PENDAHULAN
Indonesia menjadi salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia dan dikenal sebagai Negara megabiodiversity  Keanekaragaman hayati yang tinggi tersebut merupakan kekayaan alam yang dapat memberikan manfaat serbaguna dan mempunyai manfaat yang vital dan strategis, sebagai modal dasar pembangunan nasional serta merupakan paru-paru dunia yang mutlak dibutuhkan baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang (Suhartini, 2009).  Selain itu Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki cakupan luas yang bervariasi, dari yang sempit hingga yang luas, dari yang datar , berbukit serta bergunung, dimana didalamnya hidup flora, fauna dan mikrobia yang sangat beranekaragam. Berdasarkan gambaran kawasan biogeografi, Indonesia memiliki posisi sangat penting dan strategis dari sisi kekayaan dan kenekaragaman jenis tumbuhan beserta ekosistemnya. Data Bappenas (2003) meperkirakan terdapat 38.000 jenis tumbuhan (55% endemik) di Indonesia, sedangkan untuk keanekaragaman hewan bertulang belakang diantaranya 515 jenis hewan menyusui (39% endemik), 511 jenis reptilia (30% endemik), 1531 jenis burung (20% endemik) dan 270 jenis amphibi (40% endemik). Tingginya keanekaragaman hayati dan tingkat endemisme itu menempatkan Indonesia sebagai laboratorium alam yang sangat unik untuk tumbuhan tropik dengan berbagai fenomenanya.
Namun demikian Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat keterancaman lingkungan yang tinggi terutama terjadinya kepunahan jenis dan kerusakan habitat yang menyebabkan menurunkan kenekaragaman hayati.
Meskipun Indonesia disebut-sebut sebagai negara agraris, akan tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan pangan. Bertambahnya penduduk bukan hanya menjadi satu-satunya pemicu yang menghambat untuk menuju ketahanan pangan nasional. Akan tetapi berkurangya lahan pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman dan lahan industri, telah menjadi ancaman dan tantangan tambahan bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang mandiri dalam bidang pangan.
Permasalahan pangan inilah yang kemudian menjadi isu politik yang cenderung dikaitkan dengan cita-cita terselenggaranya kecukupan pangan bagi semua rakyatnya. Oleh karena itu untuk memenuhi tuntutan kebutuhan pangan tersebut perlu diupayakan ketersediaan bahan yang memadai, baik dari segi jumlah maupun jenisnya. Berbagai jenis tumbuhan penghasil umbi, buah dan biji dari hidupan liar atau yang berada di pekarangan, bahkan hewan dan mikrobia mestinya dapat dipergunakan sebagai modal dasar pembangunan ketahanan pangan.


PEMBAHASAN
Keanekaragaman Hayati
Kanekaragaman hayati menurut World Wildlife Fund dalam Mochamad Indrawan dkk (2007) adalah jutaan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme termasuk yang mereka miliki serta ekosistem rumit yang mereka bentuk menjadi lingkungan hidup. Keanekaragaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkat yaitu :
1. Keanekaragaman spesies, hal ini mencakup semua spesies di bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan yang bersel banyak atau multiseluler)
2. Keanekaragaman genetik. Variasi genetik dalam satu spesies baik diantara populasi –populasi yang terpisah secara geografis,maupun diantara individu-individu dalam satu populasi
3. Keanekaragaman komunitas. Komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing.
Ketiga tingkatan keanekaragaman hayati itu diperlukan untuk kelanjutan kelangsunga makhluk hidup di bumi dan penting bagi manusia. Keanekaragaman spesies menggambarkan seluruh cakupan adaptasi ekologi, serta menggambarkan evolusi spesies terhadap lingkungan tertentu. Keanekaragaman hayati merupakan sumberdaya hayati dan sumberdaya alternative bagi manusia.
Jatna Supriatna ( 2008) menyatakan Indonesia sebagai negara mega-biodiversity berdasarkan keanekaragaman jenis menempati urutan papan atas, yakni :
-          Urutan kedua setelah Brasil untuk keanekaragaman mamalia, dengan 515 jenis yang 99% diantaranya merupakan endemik
-          Urutan keempat untuk keanekaragaman reptil (511 jenis, 150 endemik)
-          Urutan kelima untuk keanekaragaman burung (1531 jenis, 397 endemik) bahkan khusus untuk keanekaragaman burung pruh bengkok, Indonesia menempati urutan pertama 75 jenis 38 endemik)
-          Urutan keenam untuk keanekaragaman amfibi(270 jenis, 100 endemik)
-          Urutan keempat dunia untuk keanekaragaman duna tumbuhan (38000 jenis)
-          Urutan pertama untuk tumbuhan palmae(477 jenis, 225 endemik)
-          Urutan ketiga utuk keanekaragaman ikan tawar (1400 jenis) setelah Brazil dan Columbia.
Keanekaragaman hayati yang ada di alam telah terancam punah oleh berbagai cara. Suhartini (2009) menyatakan ancaman terhadap keanekaragaman hayati dapat terjadi melalui barbagai cara berikut :
1. Perluasan areal pertanian dengan membuka hutan atau eksploitasi hutannya sendiri akan mengancam kelestarian varietas liar/lokal yang hidup di hutan (seperti telah diketahui bahwa varietas padi liar/lokal banyak dijumpai di hutan belukar, hutan jati dan hutan jenis lain). Oleh karena itu sebelum pembukaan hutan perlu dilakukan ekspedisi untuk pengumpulan data tentang varietas liar/lokal.
2. Rusaknya habitat varietas liar disebabkan oleh terjadinya perubahan lingkungan akibat perubahan penggunaan lahan.
3. Alih fungsi lahan pertanian untuk penggunaan di luar sektor pertanian menyebabkan flora yang hidup di sana termasuk varietas padi lokal maupun liar, kehilangan tempat tumbuh.
4. Pencemaran lingkungan karena penggunaan herbisida dapat mematikan gulma serta varietas tanaman budidaya termasuk padi.
5. Semakin meluasnya tanaman varietas unggul yang lebih disukai petani dan masyarakat konsumen, akan mendesak/tidak dibudidayakannya varietas lokal.
6. Perkembangan biotipe hama dan penyakit baru yang virulen akan mengancam kehidupan varietas lokal yang tidak mempunyai ketahanan.
Seiring dengan berubahnya fungsi areal hutan, sawah dan kebun rakyat,menjadi area permukiman, perkantoran, industri, jalan dan lain-lain, maka menyusut pula keanekaragaman hayati pada tingkat jenis, baik tumbuhan, hewan maupun mikrobia. Pada gilirannya jenis-jenis tersebut menjadi langka, misalnya jenis-jenis yang semula banyak terdapat di Pulau Jawa, seperti nam-nam, mundu, kepel, badak Jawa dan macan Jawa sekarang mulai jarang dijumpai (Anonim, 1995).
Keanekaragaman hayati Indonesia  sebagian telah dimanfaatkan, sebagian baru diketahui potensinya, dan sebagian lagi belum dikenal. Pada dasarnya keanekaragaman hayati dapat memulihkan diri, namun kemampuan ini bukan tidak terbatas. Karena  diperlukan untuk hidup dan dimanfaatkan sebagai modal pembangunan, maka keberadaan keanekaragaman hayati amat tergantung pada perlakuan manusia. Pemanfaatan keanekaragaman hayati secara langsung bukan tidak mengandung resiko. Dalam hal ini, kepentingan berbagai sektor dalam pemerintahan, masyarakat dan swasta tidak selalu seiring. Banyak unsur yang mempengaruhi masa depan keanekaragaman hayati Indonesia, seperti juga tantangan yang harus dihadapi dalam proses pembangunan nasional secara keseluruhan, khususnya jumlah penduduk yang besar dan menuntut tersedianya berbagai kebutuhan dasar.Peningkatan kebutuhan dasar tersebut antara lain menyebabkan sebagian areal hutan alam berubah fungsi dan menyempit, dengan rata-rata pengurangan 15.000-20.000 hektar per tahun (Soeriaatmadja, 1991)
Penyusutan keanekaragaman jenis terjadi baik pada populasi alami, maupun budidaya. Berkurangnya keanekeragaman hayati populasi budidaya tercatat dengan jelas. Pemakaian bibit unggul secara besar-besaran menyebabkan terdesak dan menghilangnya bibit tradisional yang secara turun-temurun dikembangkan oleh petani (Swaminathan, 1983 dalam Okid Parama Astirin. 2000 )

Ketahanan Pangan
Dari perpektif sejarah istilah ketahanan pangan (food security) muncul dan dibangkitkan karena kejadian krisis pangan dan kelaparan. Istilah ketahanan pangan dalam kebijakan pangan dunia pertama kali digunakan pada tahun 1971 oleh PBB untuk membebaskan dunia terutama negara-negara berkembang dari krisis produksi dan suply makanan pokok. Fokus ketahanan pangan pada masa itu menitik beratkan   pemenuhan kebutuhan pokok dan membebaskan daerah dari krisis pangan yang nampak pada definisi ketahanan pangan oleh PBB sebagai berikut ; food security is availability to avoid acute food shortags in the event of wide spread coop vailure or other disaster (Syarief dkk.,  1999)
Mahela dan Sutanto ( 2006) menyebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem . Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut.
Pengertian ketahanan pangan sering disama artikan atau di identikkan dengan kecukupan swasembada beras. Padahal ketahanan pangan pada hakekatnya adalah terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat baik dari sisi ketersediaan,stabilitas dan akses. Sastrapradja et al.,(2010) menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia harus menyadari dan wajib mengetahui tentang kekayaan hayati yang dimiliki bangsanya. Kalau kita bisa memanfaatkannya dengan baik, kita akan dapat mempertahankan kedaulatan pangan kita. Melalui sistem pertanian, kekayaan dan keanekaragaman hayati harus dapat dikelola dan dikembangkan sehingga mampu menjamin ketersediaan pangan. Sayangnya kekayaan untuk mempertahankan kedaulatan pangan ini mulai menyusut karena berbagai perubahan. Penyebabnya adalah kegiatan dan tindakan manusia dalam membuka hutan untuk lahan pertanian tanaman pangan maupun industri serta menebang pohon secara berlebihan, berburu melampaui batas daya dukung serta perdagangan ilegal berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar tanpa melakukan rehabilitasinya.
Dalam undang-undang No: 7 tahun 1996 tentang pangan, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.  Dari pengertian tersebut tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi-kondisi : (1) Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersedian yang cukup,dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.(2) Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan  manusia, serta aman untuk kaidah agama.(3) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan merata di seluruh tanah air. (4). Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Sumberdaya Hayati Pangan yang Terabaikan
Sumber daya hayati sering diartikan sebagai modal untuk menghasilkan produk dan jasa saja. Padahal keanekaragaman hayati mestinya harus merujuk pada aspek keseluruhan dari sistem penopang kehidupan yaitu mencakup aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta aspek sistem pengetahuan dan etika dan kaitan diantara berbagai aspek ini (Bappenas, 2003)
Walaupun Indonesia pernah mengalami swa sembada beras, namun kebutuhan pangan lainnya masih banyak yang perlu di import, semisal kedelai, jagung, gandum, bawang putih. Tidak luput berbagai komoditas buah dan sayur, Indonesia masih tetap kebanjiran produk-produk import. Kenyataan bahwa penduduk Indonesia dalam soal pangan masih mengandalkan pada tumbuh-tumbuhan. Padahal sumber protein nabati ini jika dibandingkan dengan protein hewani dari segi kualitas sumber protein hewani lebih tinggi. Sayangnya penyediaan protein hewani belum sepenuhnya dapat dipenuhi. Kalaupun tersedia seringkali harganya juga belum terjangkau oleh masyarakat kebanyakan, ini disebabkan terbatasnya jenis binatang yang dibudidayakan ( Eko.B.Waluyo, 2011).
Masalah pangan akan tetap merupakan salah satu tantangan utama pembangunan mengingat jumlah penduduk yang belum sepenuhnya terkendali. Penganekaragaman pangan yang diusahakan sejak lama sampai sekarang belum terwujud, sedangkan sumber pangan yang beranekaragam diperlukan untuk ketahanan nasional di Indonesia, yang pada kenyataannya berupa kepulauan dan yang kondisi untuk pertaniannya berbeda-beda. Keanekaragaman hayati yang dimiliki bangsa Indonesia ini sebenarnya merupakan “emas hijau” yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif untuk keluar dari kondisi krisis multi dimensi. Namun sayangnya kita terlantarkan dan bahkan melupakannya (Sukara, 2003)
Rifai ( 2002) menyebutkan tentang kenyataan terkini keaneragaman hayati di Indonesia bahwa :
1. Kita mempunyai kekayaan keaneragaman hayati yang melimpah, namun kita miskin ( tidak hanya miskin harta tetapi juga miskin pengetahuan)
2. Kita mempunyai keaneragaman hayati berpotensi, tetapi tidak tergali
3. Kita mempunyai peluang untuk mengembangkan keaneragaman hayati, tetapi tidak termanfaatkan
4. Kita mempunyai tantangan untuk mengembangkan keaneragaman hayati, tetapi kita tidak mampu menjawabnya
5. Kita mengetahui bahwa keaneragaman hayati sangat bernilai guna, tetapi tercampakkan
6. Kita mengetahui bahwa keanekaragaman hayati mempunyai prospek masa depan yang menjajikan, namun tidak pernah memenuhinya dan bahkan mengingkarinya melalui eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu Imran Said L Tobing ( 2004) menyatakan bahwa ancaman kepunahan berbagai spesies keanekaragaman hayati, kerusakan dan penurunan kualitas kawasan (lingkungan) serta reduksi sumber daya alam hayati yang terus terjadi harus segera ditangani secara serius. Bila tidak akan merupakan kerugian yang sangat besar bagi kita dengan hilangnya keanekaragaman hayati sebagai sumber daya alam dengan nilai ekologi maupun nilai ekonomi serta nilai-nilai lainnya.
Dalam hal sumberdaya hayati pangan,  Indonesia  tercatat  sebagai kawasan yang menjadi  salahsatu pusat  persebaran  tumbuhan  ekonomi  dunia.  Menurut  catatan  Zeven  dan  Zhukovsky  (1967) Indonesia bersama  Indo-China merupakan kawasan yang banyak ditemukan kerabat  jenis-jenis  liar yang  berpotensi  ekonomi,  misalnya  jenis  kelapa,  sagu,  pisang,  durian,  rambutan,  kecipir,  temu lawak,  dan  bahkan  padi  memperlihatkan  kisaran  keanekaragaman  yang  besar.  Walaupun sebenarnya  padi  yang  sekarang menjadi  pangan  utama  bagi  hampir  seluruh  penduduk  Indonesia belum  diketahui  secara  pasti  dari  mana  nenek  moyangnya  (progenitor),  namun  forma  dan varietasnya  sangat  banyak. Menurut  Nagai  (1962)   di  India  dikenal  ada  2000  varietas,  di  Jepang 2659,  di  Filipina  940,  belum  termasuk  di  daratan  Cina.  Di  Indonesia,  orang  Dayak  Benuaq  di Kalimantan Timur mengenal 67 kultivar  lokal padi dan 36 kultivar  jenis padi pulut  (Hendra, 2009)
Berikut ini adalah jenis-jenis yang telah banyak dikenali masyarakat yang memiliki potensi dan keanekaragamannya terdapat di Indonesia. Variasi kultivar yang dimiliki setiap jenis merupakan sumber plasma nutfah yang tidak ternilai harganya untuk kepentingan pengembangan sumber daya pangan lokal untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pertanian.
a. Ubi- ubian
Diketahui  ada 300  varietas  talas  budidaya  yang  dibedakan  berdasarkan  ukuran,  bentuk,  warna daun,  batang,  umbi,  dan  bunga. Menurut  Ochse  (1931)  di  Jawa  Tengah  pernah ditemukan ada 14 varietas dan di Jawa Timur ditemukan 3 varietas.  Diantara ubi-ubian  yang  relatif  populer  adalah  ubi  jalar  (Ipomoea  batatas).  Jenis  ini walaupun bukan  asli  Indonesia,  tetapi  sudah membudaya dan menjadi makanan pokok bagi sebagian kelompok etnis di  Indonesia. Menurut catatan Lembaga Pusat Penelitian Pertanian  (1969)    ada  beberapa  klon  ubi  jalar  harapan  yang  menjadi  prioritas pengembangan yaitu: Southern Quen  (27 klon),  tembakur ungu  (klon  Jawa Barat), Putihkalibaru (klon Jawa Timur), Daya, Jongga, Karya, Kendalipayakputih (klon Jawa Timur),  edang  (klon  Jawa  Barat),  SBY  (  4  klon),  serdang,  dan  tanjung  kait. 
b. Kacang – kacangan
Di Indonesia tanaman  kecipir memiliki  keanekaragaman  yang  tinggi,  terutama di daerah Papua. Hasil  eksplorasi  dan  koleksi  jenis-jenis  kecipir  yang  dilakukan  oleh  Khan  (1976) , diperoleh 121  lini murni dalam koleksi plasma nutfah kecipir tersebut. Di Wamena- Pegunungan  tinggi  Jayawijaya,  Papua,  teridentifikasi  adanya  beberapa  kultivar  wenalepuna  dicirikan  oleh  renda  pada  pinggiran  buahnya  yang  bergelombang; wenale  namok  dicirikan  oleh  renda  pada  pinggiran  buahnya  yang  belekuk  tajam, berwarna hijau muda sedangkan bagian tengahnya berwarna kuning pucat, bersirip hijau muda; wenale membu memiliki  renda  yang berlekuk  sedang, berwarna ungu tua; wenale huputna memiliki  renda berlekuk  tajam, berwarna hijau muda; wenale mewa memiliki  renda  berlekuk  tajam  berwarna  ungu  tua  (Walujo,  1994)

c. Buah – buahan
Indonesia memang kaya dengan berbagai jenis buah-buahan, seperti salak, mangga, manggis, durian, rambutan, kepel, belimbing. Durian misalnya, dari 27  jenis durian yang ada di Sumatra, Kalimantan dan Malaysia, 19  jenis diantaranya ditemukan di Kalimantan,  dan  baru  6  jenis  saja  yang  diketahui  berpotensi  sebagai  buah meja. Tanaman buah asli  Indonesia  lainnya adalah duku  (Lansium domesticum).  Jenis  ini memiliki 3  forma yaitu duku  (L. domesticum var. duku),  lansat  (L. domesticum var. domesticum), dan kokosan  (L. domesticum var. aquaeum) (  Waluyo, 2011)


PENUTUP

Kehilangan keanekaragama hayati sangat erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan. Ketidak seimbangan ekosistem menghasilkan bencana dimana-mana. Konversi hutan dan tataguna lahan yang tidak dikelola dengan baik akan membuat menurunnya produktivitas pertanian dan pangan makin merosot. Jika kondisi demikian tetap belum ada solusinya, maka Indonesia akan tetap menjadi pengimport bahan pokok, terutama beras dan terigu terbesar. Ironis sekali dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang dimilikinya logikanya Indonesia akan terbebas dari persoalan pangan.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995. Atlas Kenekaragaman Hayati di Indonesia. KMNLH-KOPHALINDO. Jakarta
Bappenas. 2003. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan. Dokumen Nasional Bappenas. Jakarta
Hendra,M. 2009. Etnoekologi Perladangan dan Kearifan Botani Lokal Masyarakat Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Barat.Kaltim. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor
Imran Said L Tobing. 2004. Manajemen Kenaekaragaman Hayati di Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Seminar dan lokakarya “Perkembangan Ilmu-ilmu hayati di perguruan tinggi di Indonesia, dan penerapannya dalam masyarakat” 24 Pebruari 2004 di ITB. Bandung
Jatna Supriatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Khan,T.N. 1976. Papua New Guinea : A Centre of Genetic diversity in winged bean (Psopocarpus tetraganolobus) Euphytica
Lembaga Pusat Penelitian Pertanian. 1969. Ubi-ubian di wilayah tropika. Brosur LP3. Bogor
Mahela dan Sutanto. 2006. Kajian Konsep Ketahanan Pangan dalam Jurnal Protein Vol. 13 No. 2 Tahun 2006. Jakarta
Mochamad Indrawan, Richard B Primack dan Jatna Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Inonesia. Jakarta
Nagai I. 1962. Japonica Rice its breeding and culture. Yohendo ltd. Tokyo
Okid Parama Astirin. 2000. Permasalahan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Dalam Majalah Biodiversitas.Vol 1 No 1 Januari 2000. Jakarta
Rifai,M.A. 2002. Presentasi pada Seminar Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia (tidak dipublikasikan) Pusat Penelitian Biologi-LIPI.Jakarta
Sastrapradja,SD dan Elizabeth A. Widjaja. 2010. Keanekaragaman Hayati Pertanian Menjamin Kedaulatan Pangan. LIPI Press.Jln Gondangdia Lama 39, Menteng Jakarta.
Soeriaatmadja. 1991. Rehabilitation of the Degraded Land :The Cigaru Model. Makalah pada Workshop on Rehabilitation of Degraded Tropical Lands. November 11 – 15. 1991. Brisbane University of Queensland
Suhartini. 2009. Peran Konservasi Keanekaragaman Hayati Dalam Menunjang Pembangunan yang Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian Pendidikan dan Penerapan MIPA.Fakultas MIPA. UNY. Yogyakarta.
Sukara,E. 2003. Keanekaragaman Hayati (emas hijau), alternative bagi Indonesia keluar dari krisis multidimensi. Orasi Pengukuhan sebagai Ahli Peneliti Utama Bidang Mikrobiologi. Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Bogor
Syarief, Hidayat, Hardiansyah dan Sumali. 1999. Membenahi Konsep Ketahanan Pangan Indonesia. Thaha, Hardiansyah dan Ala (Editor). Pembangunan Gizi dan Pangan Dari Perspektif Kemandirian Lokal. Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan (PERGIZI PANGAN) Indonesia dan Center For Regional Resource Development& Community Empowenment. Bogor
Walujo,Eko B. 1994. Masyarakat Mukoko di Lembah Balim Irian Jaya : Suatu tinjauan Etnobotani. Pembangunan Masyarakat Pedesaan : Suatu telaah Analitis Masyarakat Wamena, Irian Jaya. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Walujo, Eko B. 2011. Keanekaragaman Hayati Untuk Pangan. Makalah disampaikan pada Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional X. 8 -10 Nopember 2011. Jakarta.
Zaven,AC. An Zhukovsky. 1967. Dictionary of the Cultivated Plants and Their Centre of Diversity. Centre for Agricultural Publishing and Documentation. Wageningen.









                                                            








Tidak ada komentar:

Posting Komentar